Pada tahun 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan 47 komoditas Indonesia sebagai mineral kritis. Sebagai pemegang tiga cadangan mineral tertinggi di dunia, yaitu nikel, kobalt dan tembaga, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara strategis dalam transisi energi. Meskipun cadangan mineral kritis berlimpah, strategi hilirisasi perlu dirancang dengan hati-hati agar transisi energi di Indonesia selaras dengan target penurunan emisi dan proses yang berkeadilan.

Dalam upaya mencapai target Emisi Nol Bersih 2060, Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa strategi sektoral yang berorientasi pada penggunaan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon. Hal ini pun mendorong permintaan sumber daya mineral alternatif seperti nikel, kobalt, tembaga, litium atau yang biasa disebut dengan mineral kritis. Indonesia sendiri merupakan produsen nikel terbesar di dunia dengan produksinya mencakup 37% dari produksi global pada tahun 2021. Angka ini  diprediksikan akan bertumbuh hingga mencapai hampir 70% dari pertumbuhan suplai nikel global pada tahun 2026.

Selain dimanfaatkan sebagai langkah menuju Emisi Nol Bersih 2060, hilirisasi mineral kritis juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Seperti misalnya di Sulawesi Tengah, gabungan antara industri pengolahan, pertambangan dan penggalian, serta transportasi dan pergudangan berkontribusi sebesar 82,7% dari sumber pertumbuhan PDRB Sulawesi Tengah pada tahun 2022.

Sama halnya seperti di Maluku Utara, sektor industri pengolahan berkontribusi sebesar 32,31% dari total PDRB dengan tingkat laju pertumbuhan industri mencapai 41,32% pada tahun 2023. Laju pertumbuhan tersebut tergolong melonjak secara signifikan apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan industri yang hanya sebesar 1,22% pada tahun 2019. Kondisi ini merupakan hasil dari berlakunya kebijakan pelarangan ekspor biji nikel, serta regulasi Pemerintah Indonesia yang mewajibkan pengambunan industri pengolahan sejak tahun 2020.

Saat ini, terdapat 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan sebanyak 17 smelter yang sedang dalam konstruksi. Sebesar 11 miliar USD (165 triliun IDR) telah diinvestasikan untuk smelter pyrometalurgi, serta sebesar 2,8 miliar USD (40 triliun IDR) telah diinvestasikan untuk tiga smelter hydrometalurgi. Nantinya, smelter-smelter ini akan memproduksi Mix Hydro Precipitate (MHP) yang digunakan sebagai bahan baku baterai.

Apabila hilirisasi dilakukan, keuntungan rupiah yang didapatkan bisa lebih banyak lagi. Menurut pernyataan dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, bijih nikel (nickel ore) mentah dengan harga 30 USD/ton dapat menjadi 6,76 kali lipat atau setara 203USD/ton apabila diolah menjadi ferronikel. Apabila diekspor dalam bentuk MHP, maka harganya akan mencapai 3.628 USD/ton atau setara hampir 121 kali lipat.

Seiring dengan hangatnya pembahasan terkait nilai tambah ekonomi dari penambangan mineral krisis dan strategis, beberapa permasalahan lingkungan dan sosial mulai bermunculan. Beberapa diantaranya adalah tantangan deforestrasi yang terus meningkat, pengelolaan limbah, serta pencemaran udara akibat pemilihan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Di Indonesia, nikel diolah dengan proses high-pressure acid leaching (HPAL) untuk prekursor produksi baterai kendaraan listrik, 97% limbah dihasilkan melalui deep-sea tailing placement (DSTP). Hal ini, merusak ekosistem laut, meningkatkan konsentrasi logam dalam organisme, dan membahayakan biota laut. Hal ini juga berdampak kepada penduduk Morowali dan Weda yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.

Meskipun transisi energi bersih merupakan hal yang krusial, keadilan dan pencegahan dampak buruk terhadap komunitas lokal di sekitar daerah pertambangan juga harus diperhatikan secara serius. Maka dari itu, setidaknya ada tiga kerangka yang dapat dipertimbangkan untuk membuat komoditas mineral kritis dalam transisi energi dapat lebih berkelanjutan dan berkeadilan.

 

Perlunya Kerangka Regulasi yang Solid
 

Pemerintah Indonesia, melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 296.K/MB.01/MEM.B/2023, telah menetapkan 47 jenis komoditas yang tergolong dalam klasifikasi mineral kritis pada September 2023. Kepmen tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari penetapan komoditas mineral kritis adalah untuk menjamin pasokan bahan baku mineral bagi industri strategis dalam negeri dan meningkatkan perekonomian, pertahanan, serta keamanan nasional. Secara spesifik, Kepmen tersebut juga menjelaskan bahwa terdapat 8 kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, serta Pemerintah Daerah untuk mengatur:

  1. Tata kelola
  2. Tata niaga
  3. Penentuan kebijakan fiskal
  4. Penetapan formula harga mineral acuan
  5. Penentuan kebijakan pengutamaan mineral untuk kebutuhan dalam negeri
  6. Pertimbangan dalam penerbitan izin
  7. Pertimbangan dalam upaya peningkatan penyelidikan dan penelitian
  8. Pertimbangan dalam peningkatan kewajiban pelaksanaan eksplorasi lanjutan

Apresiasi patut diberikan kepada Pemerintah Indonesia karena telah mengeluarkan regulasi terkait penetapan komoditas dengan klasifikasi mineral kritis melalui Keputusan Menteri ini. Hal ini dikarenakan permasalahan mendasar dari pengelolahan industri mineral kritis di Indonesia masih terjadi akibat buruknya tata kelola, serta tidak kuatnya kerangka regulasi di tingkat nasional dan daerah sehingga mengakibatkan permasalahan lingkungan, sosial, dan ekonomi di lapangan.


Seperti misalnya pada kasus pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), Peraturan Menteri ESDM nomor 26 tahun 2018 mewajibkan pemegang IUP OP untuk melaksanakan kaidah pertambangan yang baik, termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, serta pemenuhan tanggung jawab sosial. Namun nyatanya, proses pengolahan mineral kritis masih meninggalkan berbagai permasalahan yang menyebabkan degradasi lingkungan dan konflik sosial ekonomi yang minim langkah insentif dan disinsentif, serta kurangnya penegakan sanksi bagi pelaku usaha pertambangan. Hal ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga yang bertanggung jawab atas urusan pertambangan, industri, dan lingkungan, serta tidak adanya upaya pemerintah untuk memastikan praktik tata kelola usaha pertambangan mineral kritis telah sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. 

 

Penguatan Kebijakan Rantai Pasok Transisi Energi
 

Laju perkembangan implementasi energi terbarukan perlu didukung oleh penguatan kebijakan rantai pasok mulai dari hulu ke hilir. Penggunaan teknologi rendah karbon harus diterapkan berdasarkan kaidah-kaidah untuk mendorong terciptanya kapasitas industri domestik, peningkatan lapangan pekerjaan, peningkatan mutu sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, serta pencapaian target Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No 4 dan 5 Tahun 2017, Pemerintah Indonesia terlah menargetkan capaian TKDN sebesar 34-40% untuk perlatan seperti modul surya, inverter, dan struktur pemasangan dengan dukungan hingga 100% TKDN untuk jasa logistik, pemasangan, dan kontruksi. Target ini naik hingga mencapai 80% pada tahun 2030.

Apabila direfleksikan ke kasus pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), terdapat banyak tantangan yang mengintai. Ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan menyebabkan risiko harga menjadi premium sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Selain itu, kualitas panel surya produksi lokal masih di bawah kualitas produk di pasar internasional, dengan degradation rate sebesar 1% (lebih besar dari tingkat impor yakni 0,5%). Kapasitas per panel yang hanya mencapai 370-390 Wp pun lebih rendah dibanding modul surya impor yang bisa mencapai 600 Wp.
 
Dalam kasus transisi penggunaan kendaraan listrik, yang bertujuan untuk mengurangi emisi sektor transportasi dan penggunaan sumber energi berbahan fosil, Pemerintah Indonesia meyakini bahwa Indonesia mampu memainkan peran strategis di dalam rantai pasok global sebagai pemegang cadangan nikel terbesar di dunia. Berbagai kebijakan terkait kendaraan listrik, yang diinisiasi oleh Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, menyebutkan bahwa kebijakan kendaraan listrik didasarkan untuk mendorong penguasaan teknologi industri serta menjadikan Indonesia sebagai basis produksi dan ekspor kendaraan bermotor di dunia. Namun sayangnya, eksplorasi dan pemanfaatan mineral kritis di Indonesia menunjukan bahwa tidak terdapat kesesuaian antara narasi besar yang ingin dicapai oleh Pemerintah Indonesia dengan praktik yang terjadi di lapangan. 

Statistik Kementerian Perdagangan menunjukan bahwa nilai ekspor nikel pada tahun 2023 telah mencapai 4,03 miliar USD dengan negara tujuan terbesarnya adalah Jepang dan Tiongkok. Permintaan ekspor nikel tersebut tentu saja terjadi akibat meningkatnya produksi kendaraan listrik terutama di Cina, di mana Indonesia juga menjadi pasar utama sebagai importir kendaraan listrik tersebut. Di sisi lain, data dari Gaikindo menunjukan bahwa 78% mobil listrik yang terjual di Indonesia pada tahun 2022 adalah mobil listrik dengan bahan baterai nonnikel yang menggunakan teknologi Lithium Ferro Phospate (LFP).

Melihat data tersebut, penguatan rantai pasok di dalam transisi energi bersih dan berkeadilan adalah salah satu upaya yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memastikan pemanfaatan mineral kritis yang bertanggung jawab dan tepat guna. Tanpa adanya visi dan arah kebijakan yang jelas terkait pemanfataan mineral kritis dalam penguatan rantai pasok, Indonesia berisiko untuk kehilangan momentum dalam meningkatkan kapasitas industri dalam negeri di tengah ketergantungan negara tetangga terhadap cadangan mineral kritis yang ada di Indonesia. Kebijakan penguatan rantai pasok melalui investasi yang bertanggung jawab harapannya dapat membangun tata kelola dan ekosistem bisnis yang sehat guna meningkatkan nilai ekonomi pengelolaan mineral kritis yang ada di Indonesia.

 

Pengelolaan Mineral Kritis yang Bertanggung Jawab dan Berkeadilan

 

Proses hilirisasi mineral kritis masih menjadi kunci penguatan ekonomi nasional sebagaimana penguatan rantai pasok dengan teknologi rendah karbon terhadap target Emisi Nol Bersih 2060, terlepas dari banyaknya potensi dampak sosial dan lingkungan yang didapatkan dari penambangan mineral kritis. 

Pemerintah dapat menjadi pionir gerakan penambangan yang adil dan bertanggung jawab dengan mengatur proses penambangan dan pengolahan mineral kritis. Regulasi ini mencakup penguatan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang diantaranya dapat dilakukan melalui beberapa praktik seperti pelarangan pembuangan tailing ke laut, izin penelitian dari pihak ketiga yang independen, dan kewajiban untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Penggunaan PLTU sebagai sumber energi operator smelter HPAL juga perlu diregulasi dengan mendorong pengurangan pendanaan pembangunan dan operasional PLTU, serta pemberian insentif dan akses bagi penggunaan energi terbarukan untuk usaha penambangan dan pengolahan mineral kritis.

Perusahaan dan investor perlu menerapkan teknologi terbaik dalam membuang bekas limbah, seperti backfilling (mengembalikan tailing ke lubang tambang) dan drystack (mengeliminasi kandungan air dalam tailing untuk mengurangi jejak lingkungan). Secara internal, perusahaan dan investor perlu menerbitkan regulasi pengelolaan tailing yang bertanggung jawab. Upaya penghijauan rantai pasok dan penerapan proses penambangan yang bertanggung jawab juga perlu dimonitor dan ditegakkan melalui penerapan standar internasional yang sudah diakui secara global. 

Intervensi juga perlu dilakukan dalam aspek sosial. Perusahaan perlu memenuhi hak-hak pekerja dan memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam konteks pekerja tambang dan smelter maupun melindungi aktivitas nontambang di sekitar perusahaan seperti melaut dan bertani. Pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi proses usaha pertambangan adalah kunci untuk melaksanakan kaidah pertambangan yang baik sesuai regulasi Pemerintah Indonesia. 

Melihat besarnya peluang Indonesia untuk menjadi pionir transisi menuju energi terbarukan, diperlukan beragam upaya untuk menyelesaikan tantangan yang ada. Proses hilirisasi harapannya mampu untuk memberikan nilai tambah ekonomi yang tidak hanya tetap sesuai dengan prinsip-prinsip menjaga lingkungan, tetapi juga mampu mempertahankan nilai sosial budaya lokal. Pertumbuhan ekonomi melalui sumber daya alam yang tersimpan di Indonesia memang merupakan sebuah kesempatan, tetapi penting untuk tidak mengorbankan keberlanjutan dan keadilan sosial sehingga transisi energi pun menjadi berkeadilan.